Selasa, 10 Mei 2011

POLIGAMI BOLEEEEH,,?


MENYINGKAP TABIR POLIGAMI

  • Makna perkawinan dalam islam
Salah satu keutamaan manusia disbanding makhluk lainnya adalah pengangkatan dirinya sebagai khalifah fi al-ardli (mandataris allah di bumi), yang diserahi tugas untuk mengelola kehidupan di planet bumi ini. Dalam rangka menyukseskan tugas luhur tersebut manusia dibolehkan bahkan dianjurkan menikah, antara lain agar keberlangsungan generasi manusia tetap terjamin sampai hari kiamat nanti.
Perkawinan dalam islam merupakan suatu akad atau transaksi. Hal itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Berbeda dengan transaksi biasa, perkawinn adalah amanah.
Sebagai suatu akad atau transaksi, perkawinan semestinya melibatkan dua pihak yang setara sehingga mencapai suatu kata sepakat atau kosensus. Tidak salah jika didefenisiskan bahwa perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan kesukaan untuk hidup bersama dalam satu keluarga.
Sejumlah ayat dalam al-qur’an banyak membahas soal perkawinan, kalau kita dapat simpulkan bahwa perkawinan dalam islam dibangun di atas lima prinsip dasar. Pertama, prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan syari’aat. Kedua, prinsip mawaddah warahmah (cinta dan kasih saying) ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun). Kelima, prinsip monogamy.

  • Makna poligami
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami, karena mengundang pandangan yang controversial. Poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal mana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersipat poligam. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suamidalam waktu yang sama. Akan tetaapi, dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan.
Kebalikan poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Suami hanya mempunyai satu istri. Istilah lainnya monogini. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, monogami lebih banyak dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan kedamaian.

  • Sejarah hukum poligami
Menurut Ibnu Abdu al-Salam (Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, juz II hal. 93), syariat Nabi Musa AS. tidak melarang laki-laki beristeri lebih dari satu. Bahkan, pada waktu itu, laki-laki sangat dianjurkan berpoligami. Ini terkait dengan jumlah laki-laki yang sedikit dibanding populasi perempuan yang terus meningkat. Sebagaimana yang diceritakan al-Qur’an, Fir’aun, penguasa pada saat itu, melakukan pembunuhan besar-besaran setiap bayi laki-laki yang lahir, sementara bayi perempuan terus dibiarkan hidup. (QS al-Baqarah [02]: 49)
Era “kebebasan” laki-laki berakhir pada masa kenabian Isa AS. Syariat Isa hanya membolehkan monogami. Konon, ketentuan seperti ini berpulang pada sosok Nabi Isa sendiri. Seperti yang kita ketahui, Nabi Isa terlahir dari rahim wanita yang sepanjang hidupnya tidak pernah bersuami. Dalam kandungan Maryam—ibu Isa—tiba-tiba terdapat janin tanpa diketahui asal- muasalnya.
Dalam hal ini, Isa adalah aseli produk wanita: proses pembuahan janin Isa tanpa ada campuran sperma laki-laki dan ovum wanita. Maryam adalah asal dari Isa. Nah, sebagai bentuk “penghormatan” terhadap asal, maka laki-laki tidak boleh beristeri lebih dari satu.
Berbeda dengan syariat Nabi Musa yang terlalu ekstrim dalam membebaskan poligami, dan Nabi Isa yang hanya membolehkan monogami, syariat Nabi Muhammad mengambil posisi tengah-tengah, sebagai sintesis dari syariat Musa dan Isa.
Nabi Muhammad SAW membolehkan laki-laki beristeri maksimal empat (QS an-Nisa [4]: 03). Bahkan Nabi SAW sendiri memiliki sembilan istri dari lima belas wanita yang pernah dikawininya.
Kendatiun demikian, syariat Nabi Muhammad SAW juga terkait dengan kondisi sosio-kultur msyarakat Arab waktu itu. Dalam tradisi Arab, tidak ada batasan bagi laki-laki untuk mengawini perempuan. Bahkan, pada waktu itu, posisi perempuan sangat direndahkan. Batasan empat yang diberikan al-Quran dalam rangka mengangkat harkat-martabat perempuan yang direndahkan itu. Namun, model perubahan yang dipilih al-Qur’an adalah halus (soft) dan bertahap (al-tajrid). Dan ini ciri dari syariat Nabi Muhammad SAW.
Yang perlu ditekankan di sini, seperti yang dikatakan Khudlori Bek dalam “Tarikh al-Tasyri’ al-Islami”, bahwa poligami bukanlah pokok syariat yang bersifat pasti (laisa ta’addudu al-zaujaat min al-sya’aair al-asasiyyah allati labudda minha). Sejatinya, yang berhak menentukan boleh-tidaknya poligami adalah manusia, tentunya dengan bertitik-tolak pada realitas sosio-kultur yang berlaku di masyarakatnya.
Disamping itu, kita juga harus mempertimbangkan alasan serta tujuan dari nikah itu sendiri, agar tidak terjadi kesilap-pahaman dalam memahami poligami. Menurut para ulama, tujuan nikah ada tiga (maqasid al-nikah tsalasah): pertama, menjaga keturunan/fungsi reproduksi (hifdzu al-nasal); kedua, mendistribusikan sperma yang apabila terus ditimbun dalam tubuh maka akan membahayakan (ikhraj al-ma’ alladzi yadurru ihtibasuhu fi al-badan); dan ketiga, menyalurkan kebutuhan biologis, rekreasi (nailu al-ladzzat). (Abi Bakr bin Syato’, Ianah al-Tholibin, hal 295 juz III).
Nikah hanyalah sarana (wasail) untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas. Jika tujuan itu bisa diperoleh dengan monogami, maka mengapa harus berpoligami? Sayangnya, seringkali kita terjebak pada “sarana”, melupakan tujuan. Sehingga terlepas dari cita-cita nikah yang diinginkan al-Qur’an, yakni taskunuu ilayha (keharmonisan dalam rumah tangga) dan mawaddah wa rahmah (kasih sayang). (QS al-Rum [30]: 21)

  • Urgensi Poligami Secara Sosial.
Dalam sekala sosial, poligami mempunayi beberapa urgensi: Pertama, dalam situasi normal. Sering terjadi populasi wanita melebihi jumlah pria, sebagaimana yang ditemukan di negara-negara Eropa Utara. Pada masa di mana tidak ditemukan peperangan, biasanya jumlah kaum hawa lebih banyak dari kaum Adam. Salah seorang dokter bersalin di Helsinky, Finlandia pernah berkata bahwa setiap terjadi kelahiran empat bayi, satu dari padanya adalah bayi laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini, maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari kemaslahatan etika maupun sosial. Poligami dalam kondisi ini lebih baik dari pada ditemukannya wanita-wanita yang tak mendapatkan jodoh bergentayangan di jalan-jalan, tidak punya keluarga, tidak pula rumah. Keadaan ini dapat mengundang kejahatan dan perilaku negatif serta penyakit sosial.
Kedua, dalam kodisi di mana jumlah laki-laki lebih sedikit dari jumlah wanita akibat pertempuran atau bencana alam. Dalam kondisi ini maka poligami menjadi urgen bagi tatanan sosial seperti yang terjadi pada masa perang dunia.

  • Urgensi Poligami Secara Individual
Di samping urgensi poligami secara sosial, ada beberapa hal sehingga secara individual pun poligami menjadi sesuatu yang sangat urgen. Antara lain adalah:
Pertama, bila seorang isteri mandul sementara sang suami ingin sekali memiliki keturunan. Keinginan memiliki keturunan adalah sesuatu hal yang wajar dan fitrah. Dalam situasi seperti ini hanya ada dua kemungkinan:
Mencerai isteri mandul atau kawin lagi. Tentunya mempertahankan perkawinan bagi seorang laki-laki dan wanita adalah lebih baik dari pada bercerai. Biasanya seorang wanita yang mandul lebih memilih dimadu dari pada hidup sendirian. Sebab bila memilih cerai, ia khawatir tidak ada lelaki lain yang ingin mengawininya.
Kedua, bila isteri mempunyai suatu penyakit yang menyebabkan suami tidak bisa menggaulinya. Bila dicerai biasanya suami akan merasa malu terhadap masyarakatnya, demikian juga isteri akan merasa tidak berarti lagi dalam hidupnya. Sementara itu kebutuhan biologis suami harus tetap dipenuhi. Oleh karena itu dalam keadaan demikian, maka poligami adalah jalan keluar dari persoalan di atas.
Ketiga, keadan laki-laki mempunyai kecendrungan hiper sex yang bila hanya satu isteri, kebutuhannya tidak terpenuhi, baik karena sang isteri memasuki masa monopause maupun disebabkan datang bulan (haid). Dalam keadaan ini tentunya poligami adalah tindakan yang paling baik dibandingkan harus “jajan” di tempat-tempat mesum.

  • Sisi Negatif Poligami.
Selain beberapa keunggulan yang terdapat pada sistem poligami, kita juga tidak menutup mata bahwa secara empiris masih dijumpai sisi negatif dari poligami. Sisi negative ini timbul disebabkan beberapa faktor. Namun faktor utama dari segalanya adalah kembali kepada manusianya itu sendiri. Banyak dari kalangan kita yang menyalahgunakan kebolehan polgami ini, di samping itu keislaman dan kesalehan orang yang bersangkutan masih kurang dari yang diharapkan. Maka banyak terjadi berbagai persoalan negatif yang ditimbulkan poligami, antara lain:
Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para isteri. Persaaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu isteri dari pada isteri yang lain, atau karena kurang adanya keadilan. Tapi hal ini jarang terkadi bila sang suami dan isteri mengerti hak dan kewajibannya.
Perasaan di atas juga biasanya terwarisi hingga kepada anak-anaknya dari masing-masing isteri, sehingga rasa persaudaraan tidak ada lagi.
Timbulnya tekanan batin bagi sang isteri pertama, karena biasanya sang suami lebih mencintai isteri barunya. Perasaan ini mengakibatkan isteri pertama kurang bahagia dalam hidupnya. Poligami juga menjadi penyebab timbulnya genarasi santai, mereka lebih suka bermejeng di jalanan untuk menghabis-habiskan masa mudanya. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya perhatian dari sang ayah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar